BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan moral adalah salah satu topik tertua yang
menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini
kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan
cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat
diterima dan etis kepada remaja. Perkembangan moral berhubungan dengan
peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang
dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral. Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk
dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain
(dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang
perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang
buruk, yang tidak boleh dikerjakan.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang diatas maka rumusan masalahnya, antara lain :
- Bagaimana Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget?
- Bagaimana Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg?
1.3
TUJUAN
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain :
- Untuk mengetahui Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget.
- Untuk Mengetahui Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg.
BAB II
PEMBAHASAN
Piaget adalah seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Piaget adalah seorang tokoh
psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para
pakar kognitif lainnya. Menurut Piaget, perkembangan moral merupakan
suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur
seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat
pula kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget tidak melihat
perkembangan moral sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara
kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan metal anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar
seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangannya sesuai dengan
umurnya. Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus
dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu
yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap
perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu :
a) Tahap
Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode
pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai
perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks,
muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan
refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular
primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama
dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular
sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan
terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi
sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat
berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular
tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan
berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan
dilakukan langkah demi langkah. Kemampuan yang dimiliki antara lain :
1. Melihat dirinya sendiri sebagai
makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya.
2. Mencari rangsangan melalui sinar
lampu dan suara.
3. Suka memperhatikan sesuat lebih
lama.
4. Mendefinisikan sesuatu dengan
memanipulasinya.
5. Memperhatikan objek sebagai hal yang
tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b) Tahapan
Praoperasional (umur 2-7/8 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari
empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa
setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran
(Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan
secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental
yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan
kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat
dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan
satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda
atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan
sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini,
anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan
benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan
penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung
egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana
hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana
perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk
memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat
imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun
memiliki perasaan. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam
mengembangkan konsep nya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi
kesalahan dalam memahami objek. Karakteristik tahap ini adalah:
- Self counter nya sangat menonjol.
- Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
- Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar.
- Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4 - 7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh
pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan
sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini, anak
telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang
memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah :
- Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya.
- Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
- Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
c) Tahapan Operasional Konkrit (umur
7/8-11/12 tahun)
Tahapan ini adalah
tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai dua belas
tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting
selama tahapan ini adalah:
Pengurutan-kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk,
atau ciri lainnya. Contohnya : bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat
mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi-kemampuan untuk memberi nama dan
mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau
karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat
menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki
keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh
anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya
dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility
anak mulai memahami bahwa jumlah
atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu,
anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama
dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi-memahami bahwa kuantitas, panjang,
atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau
tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi
cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air
dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap
sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan
sifat Egosentrisme-kemampuan
untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut
berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang
memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan,
kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti
kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa
boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah
mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya
reversible dan kekekalan. Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis,
akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau
gambaran yang ada di dalam dirinya. Karenanya kegiatan ini memerlukan
proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih
efektif. Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena
anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model "kemungkinan"
dalam melakukan kegiatan tertentu. Ia dapat menggunakan hasil yang telah
dicapai sebelumnya. Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
Namun sesungguhnya anak telah dapat melakukan
pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari
adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya. Namun taraf
berpikirnya sudah dapat dikatakan maju. Anak sudah tidak memusatkan diri
pada karakteristik perseptual pasif. Untuk menghindari
keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu
menelaah persoalan. Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih
memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
d) Tahapan Operasional Formal
(11/12-18 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir
perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam
usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah
diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan
menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang
dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat
segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai
perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran
moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak
sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai
keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran
dari tahap operasional konkrit.
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah
mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir
"kemungkinan". Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-dedutive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik
kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Pada tahap ini
kondisi berpikir anak sudah dapat :
- Bekerja secara efektif dan sistematis.
- Menganalisis secara kombinasi.
- Berpikir secara proporsional.
- Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi. Pada tahap ini mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling lambat pada usia 15 tahun. Tetapi berdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan formal operation.
Proses
belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda
dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional,
dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional
konkret, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional
formal. Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang
akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya. Guru
seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif pada muridnya agar dalam
merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap
tersebut. Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai
dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.
2.2 PERKEMBANGAN MORAL MENURUT LAWRENCE KOHLBERG
Lawrence Kohlberg adalah salah satu murid dari
Jean Piaget, dia menyempurnakan dan mengembangkan teori perkembangan moral yang
telah dikemukakan oleh Jean Piaget. Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence
Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat
prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional.
Menurut
pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap
dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya
ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus
meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan
cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang
berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya
Tahapan-tahapan perkembangan moral yang
dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan
perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat
perkembangan moral menurut Kohlberg. Hasil kajian Kohlberg
nampak lebih operasional dibandingkan dengan kajian perkembangan moral yang
dikemukakan oleh Piaget, secara sederhana Kohlberg mengemukakan teorinya
tentang perkembangan moral menjadi enam tahap yang dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok besar, antara lain
1. Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak
sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau
buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma
tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan.
Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang
menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua
tahap yaitu:
a. Tahap Punishment and Obedience
Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak
menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat
menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi
manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan
tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau
Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar
apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun
orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri
sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan
tersebut tidak merugikan.
Pada tahap ini hubungan antar
manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat
perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang
menempati kedudukan yang cukup penting.
2. Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral
konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya
merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus
mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas
yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha seseorang
untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat
ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri
dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat
konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap
Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini,
tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau
tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan
menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu
tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap
anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b. Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak
selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk
memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang
mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan
pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang
ada.
3. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam
diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki
validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok
maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada
tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract,
Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap
kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap
bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu
dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati
oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan
individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang
memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan
seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga
dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap
Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini,
moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok
sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran
manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut
dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup
prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam teori Piaget, disimpulkan bahwa pendidikan sekolah
seharusnya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa mengambil
keputusan dan memecahkan masalah. Pembinaan perkembangan moral dilakukan dengan
cara-cara yang menuntut siswa untuk mengembangkan aturan yang adil. Pendidikan
nilai menitikberatkan kepada pengembangan perilaku yang dilandasi oleh
penalaran moral dalam kehidupan masyarakat.
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan
nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada
seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi
landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk
memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu,
Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan
klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya
jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai
yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak.
3.2 SARAN
Dalam perkembangan anak, orang tua diharapkan
memberikan perhatian yang maksimal kepada anaknya sehingga anak tidak
terjerumus pada hal-hal yang tidak benar dan menyimpang norma-norma yang ada
pada masyarakat dan nantinya anak tersebut dapat tumbuh menjadi anak yang
berguna bagi dirinya, bangsa dan Negara. Guru dan orang tua seharusnya bekerja
sama dalam meningkatkan kualitas pengawasan belajar pada anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar