Senin, 18 September 2017

Teori Perkembangan Moral



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan moral adalah salah satu topik tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat di terima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan cara-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja. Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan-peraturan dan nilai-nilai mengenai apa yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral. Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

1.2  RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka rumusan masalahnya, antara lain :
  1. Bagaimana Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget?
  2. Bagaimana Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg?

1.3  TUJUAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, antara lain :
  1. Untuk mengetahui Teori Perkembangan Moral menurut Jean Piaget.
  2. Untuk Mengetahui Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    TEORI PERKEMBANGAN MORAL MENURUT JEAN PIAGET JEAN  
Piaget adalah seorang  psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Piaget adalah seorang tokoh  psikologi kognitif yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran para pakar kognitif lainnya.  Menurut Piaget, perkembangan moral merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf.  Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya.  Ketika individu berkembang menuju kedewasaan, akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya.  Piaget tidak melihat perkembangan moral sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif.  Ia menyimpulkan bahwa daya pikir atau kekuatan metal anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Menurut Piaget, proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangannya sesuai dengan umurnya.  Pola dan tahap-tahap ini bersifat hirarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya.  Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat, yaitu :
a)    Tahap Sensorimotor (umur 0-2 tahun)
        Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Ciri pokok perkembangannya berdasarkan tindakan, dan dilakukan langkah demi langkah.  Kemampuan yang dimiliki antara lain :
1.   Melihat dirinya sendiri sebagai makhluk yang berbeda dengan objek di sekitarnya.
2.   Mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara.
3.   Suka memperhatikan sesuat lebih lama.
4.   Mendefinisikan sesuatu dengan memanipulasinya.
5.   Memperhatikan objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b)   Tahapan Praoperasional (umur 2-7/8 tahun)
       Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra) Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan. Tahap ini dibagi menjadi dua, yaitu preoperasional dan intuitif.
Preoperasional (umur 2-4 tahun), anak telah mampu menggunakan bahasa dalam mengembangkan konsep nya, walaupun masih sangat sederhana. Maka sering terjadi kesalahan dalam memahami objek. Karakteristik tahap ini adalah:
  1. Self counter nya sangat menonjol.
  2. Dapat mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok.
  3. Mampu mengumpulkan barang-barang menurut kriteria, termasuk kriteria yang benar.
  4. Dapat menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan antara deretan.
Tahap intuitif (umur 4 - 7 atau 8 tahun), anak telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak abstraks. Dalam menarik kesimpulan sering tidak diungkapkan dengan kata-kata. Oleh sebab itu, pada usia ini, anak telah dapat mengungkapkan isi hatinya secara simbolik terutama bagi mereka yang memiliki pengalaman yang luas. Karakteristik tahap ini adalah :
  1. Anak dapat membentuk kelas-kelas atau kategori objek, tetapi kurang disadarinya.
  2. Anak mulai mengetahui hubungan secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks.
  3. Anak dapat melakukan sesuatu terhadap sejumlah ide.
c)       Tahapan Operasional Konkrit (umur 7/8-11/12 tahun)
    Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai dua belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan-kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya : bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
            Klasifikasi-kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
      Decentering anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
      Reversibility anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
      Konservasi-memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
      Penghilangan sifat Egosentrisme-kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan.  Anak telah memiliki kecakapan berpikir logis, akan tetapi hanya dengan benda-benda yang bersifat konkret.  Operation adalah suatu tipe tindakan untuk memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya.  Karenanya kegiatan ini memerlukan proses transformasi informasi ke dalam dirinya sehingga tindakannya lebih efektif.  Anak sudah tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan, karena anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan model "kemungkinan" dalam melakukan kegiatan tertentu.  Ia dapat menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya.  Anak mampu menangani sistem klasifikasi.
Namun sesungguhnya anak telah dapat melakukan pengklasifikasian, pengelompokan dan pengaturan masalah (ordering problems) ia tidak sepenuhnya menyadari adanya prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.  Namun taraf berpikirnya sudah dapat dikatakan maju.  Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.  Untuk menghindari keterbatasan berpikir anak perlu diberi gambaran konkret, sehingga ia mampu menelaah persoalan.  Sungguhpun demikian anak usia 7-12 tahun masih memiliki masalah mengenai berpikir abstrak.
d)     Tahapan Operasional Formal (11/12-18 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan  menggunakan pola berpikir "kemungkinan".  Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-dedutive dan inductive sudah mulai dimiliki anak, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa.  Pada tahap ini kondisi berpikir anak sudah dapat :
  1. Bekerja secara efektif dan sistematis.
  2. Menganalisis secara kombinasi. 
  3. Berpikir secara proporsional.
  4. Menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.  Pada tahap ini mula-mula Piaget percaya bahwa sebagian remaja mencapai formal operations paling lambat pada usia 15 tahun.  Tetapi berdasarkan penelitian maupun studi selanjutnya menemukan bahwa banyak siswa bahkan mahasiswa walaupun usianya telah melampaui, belum dapat melakukan formal operation.
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu akan berbeda dengan proses belajar yang dialami oleh seorang anak pada tahap preoperasional, dan akan berbeda pula dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional konkret, bahkan dengan mereka yang sudah berada pada tahap operasional formal.  Secara umum, semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya.  Guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangan kognitif pada muridnya agar dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajarannya sesuai dengan tahap-tahap tersebut.  Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan tidak sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa tidak akan ada maknanya bagi siswa.

2.2   PERKEMBANGAN MORAL MENURUT LAWRENCE KOHLBERG
 Lawrence Kohlberg adalah salah satu murid dari Jean Piaget, dia menyempurnakan dan mengembangkan teori perkembangan moral yang telah dikemukakan oleh Jean Piaget.  Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional.
 Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu, kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya
 Tahapan-tahapan perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg. Hasil kajian Kohlberg nampak lebih operasional dibandingkan dengan kajian perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget, secara sederhana Kohlberg mengemukakan teorinya tentang perkembangan moral menjadi enam tahap yang dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, antara lain
1.         Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.  Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
 Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan.
Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan, di mana terdapat timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.

2.        Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b. Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada. 

3.         Tingkat Postkonvensional
 Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP

3.1  KESIMPULAN
Dalam teori Piaget, disimpulkan bahwa pendidikan sekolah seharusnya menitikberatkan pada pengembangan kemampuan siswa mengambil keputusan dan memecahkan masalah. Pembinaan perkembangan moral dilakukan dengan cara-cara yang menuntut siswa untuk mengembangkan aturan yang adil. Pendidikan nilai menitikberatkan kepada pengembangan perilaku yang dilandasi oleh penalaran moral dalam kehidupan masyarakat.
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak.

3.2  SARAN
 Dalam perkembangan anak, orang tua diharapkan memberikan perhatian yang maksimal kepada anaknya sehingga anak tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak benar dan menyimpang norma-norma yang ada pada masyarakat dan nantinya anak tersebut dapat tumbuh menjadi anak yang berguna bagi dirinya, bangsa dan Negara. Guru dan orang tua seharusnya bekerja sama dalam meningkatkan kualitas pengawasan belajar pada anak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar