Masyarakat memberikan suara pada Pemilu |
Sejak lahirnya era
reformasi 1998 memberikan angin segar bagi penerapan sistem demokrasi di
Indonesia. Kebijakan pencabutan dwi fungsi ABRI, adanya kebebasan berserikat
dan pemilihan secara langsung merupakan agenda pokok gerakan reformasi yang dipelopori
oleh mahasiswa bersama dengan rakyat, kemudian perubahan mendasar yang terjadi
adalah pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah badan yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri yang dinamakan Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Pemilihan umum yang dilaksanakan dengan azas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil)
diharapkan masyarakat mampu
menjadi warga negara yang baik yang sadar akan
hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam berpartisipasi politik
khususnya dalam pelaksanaan
pemilihan umum sebagai cerminan dari kedaulatan rakyat.
Pada pemilihan umum tahun 2019 menjadi perhatian yang mutlak dilakukan, karena pemilu tahun 2019 berbeda dengan pemilu
sebelum-sebelumnya setelah adanya Keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 kemudian
dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang membuat Indonesia mencetak sejarah baru, yaitu
menggabungkan dua pemilihan umum dalam waktu yang bersamaan untuk pemilihan legeslatif dan pemilihan eksekutif
secara serentak. Dimana pada pemilihan umum tahun 2019 ini, rakyat menggunakan
hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten.
Namun, dalam realita yang terjadi di masyarakat
dengan banyaknya partai politik yang ikut sebagai kontestan dalam pemilu 2019 dengan
latar ideologi partai dan program kerja yang berbeda-beda serta banyaknya
kontestan anggota partai yang ikut bertarung dalam pemilu dengan latar
kemampuan dan pengalaman politik, motivasi, serta track record yang berbeda-beda mempengaruhi sikap dan perilaku
memilih warga yang jumlahnya banyak dengan latar belakang yang berbeda-beda
pula. Menurut Budiardjo (2009:36) perilaku memilih warga dalam pemilu adalah
keputusan dan tindakan pemilih untuk memberikan suaranya kepada partai politik
atau para kandidat yang dipercaya atau yang disukai dalam pemilu.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu tantangan
yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia saat ini adalah
kompleksnya fenomena perilaku memilih (voting
behavior) warga dalam pemilu karena setiap warga yang memiliki hak memilih
dalam pemilu memiliki kebebasan pula dalam melakukan pilihan sesuai dengan apa
yang dianggapnya berguna. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (I
Nengah Suastika dan Sukadi, 2012) mengenai Perilaku
Memilih Warga Buleleng Dalam Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Buleleng
Tahun 2012 bahwa
Perilaku memilih warga dalam pemilu dapat dikelompokkan menjadi beberapa
kategori antara lain :
- Pertama, adalah pemilih rasional pemilih tipe ini lebih melihat faktor program kerja partai atau kandidat sebagai acuan dalam memilih. Partai politik atau kandidat yang memiliki program kerja paling rasional adalah yang akan mendapat pilihan.
- Kedua, adalah pemilih kritis pemilih tipe ini tidak hanya mengandalkan program kerja partai politik atau kandidat yang paling rasional, tetapi secara kritis juga memperhatikan faktor-faktor ketertarikan, kedekatan, dan kesamaan.
- Ketiga, adalah pemilih transaksional pemilih tipe ini akan memilih jika diberikan imbalan berupa uang atau barang yang dijadikan sebagai timbale balik atas suara yang diberikannya.
- Keempat, adalah pemilih tradisional pemilih tipe ini cenderung lebih berorientasi pada ikatan-ikatan primordialisme, seperti kesamaan suku, agama, dan ideologi partai
- Kelima, adalah tipe pemilih skeptis, pemilih tipe ini cenderung kurang memiliki kepercayaan terhadap partai politik atau kandidat akan mampu membawa aspirasi rakyat atau akan mampu memperjuangkan nasib rakyat. Karena itu, tipe pemilih ini cenderung bersifat apatis dan kemungkinan menjadi kelompok golput.
Berdasarkan tipe
perilaku memilih tersebut, jika masyarakat lebih cenderung termasuk tipe
pemilih rasional dan kritis maka akan
terpilih pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa kesejahteraan bagi
rakyat, namun jika masyarat lebih cenderung termasuk tipe pemilih
transaksional, tradisional, dan skeptic maka akan terpilih pemimpin yang akan
mementingkan diri sendiri dan golongan bahkan senderung korup. Maka dari itulah
ini menjadi tugas bagi semua kompenen masyarakat untuk meningkatkan pendidikan
politik di negeri ini agar tercipta negara demokrasi yang membawa kemajuan dan
kemakmuran bagi rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar