Rabu, 03 April 2019

PERILAKU MEMILIH (VOTING BEHAVIOR) MASYARAKAT PADA PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Masyarakat memberikan suara pada Pemilu
Sejak lahirnya era reformasi 1998 memberikan angin segar bagi penerapan sistem demokrasi di Indonesia. Kebijakan pencabutan dwi fungsi ABRI, adanya kebebasan berserikat dan pemilihan secara langsung merupakan agenda pokok gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa bersama dengan rakyat, kemudian perubahan mendasar yang terjadi adalah pemilihan umum diselenggarakan oleh sebuah badan yang bersifat nasional, tetap dan mandiri yang dinamakan  Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pemilihan umum yang dilaksanakan dengan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil) diharapkan masyarakat mampu menjadi warga negara yang baik yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam berpartisipasi politik khususnya dalam pelaksanaan pemilihan umum sebagai cerminan dari kedaulatan rakyat.
Pada pemilihan umum tahun 2019 menjadi perhatian yang mutlak dilakukan, karena pemilu tahun 2019 berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya setelah adanya Keputusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 kemudian dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang membuat Indonesia mencetak sejarah baru, yaitu menggabungkan dua pemilihan umum dalam waktu yang bersamaan untuk  pemilihan legeslatif dan pemilihan eksekutif secara serentak. Dimana pada pemilihan umum tahun 2019 ini, rakyat menggunakan hak pilihnya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten.
Namun, dalam realita yang terjadi di masyarakat dengan banyaknya partai politik yang ikut sebagai kontestan dalam pemilu  2019 dengan latar ideologi partai dan program kerja yang berbeda-beda serta banyaknya kontestan anggota partai yang ikut bertarung dalam pemilu dengan latar kemampuan dan pengalaman politik, motivasi, serta track record yang berbeda-beda mempengaruhi sikap dan perilaku memilih warga yang jumlahnya banyak dengan latar belakang yang berbeda-beda pula. Menurut Budiardjo (2009:36) perilaku memilih warga dalam pemilu adalah keputusan dan tindakan pemilih untuk memberikan suaranya kepada partai politik atau para kandidat yang dipercaya atau yang disukai dalam pemilu.
Terkait dengan hal tersebut, salah satu tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia saat ini adalah kompleksnya fenomena perilaku memilih (voting behavior) warga dalam pemilu karena setiap warga yang memiliki hak memilih dalam pemilu memiliki kebebasan pula dalam melakukan pilihan sesuai dengan apa yang dianggapnya berguna. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh (I Nengah Suastika dan Sukadi, 2012) mengenai Perilaku Memilih Warga Buleleng Dalam Pemilihan Umum Bupati Dan Wakil Bupati Buleleng Tahun 2012 bahwa Perilaku memilih warga dalam pemilu dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori antara lain : 
  • Pertama, adalah pemilih rasional pemilih tipe ini lebih melihat faktor program kerja partai atau kandidat sebagai acuan dalam memilih. Partai politik atau kandidat yang memiliki program kerja paling rasional adalah yang akan mendapat pilihan. 
  • Kedua, adalah pemilih kritis pemilih tipe ini tidak hanya mengandalkan program kerja partai politik atau kandidat yang paling rasional, tetapi secara kritis juga memperhatikan faktor-faktor ketertarikan, kedekatan, dan kesamaan. 
  • Ketiga, adalah pemilih transaksional pemilih tipe ini akan memilih jika diberikan imbalan berupa uang atau barang yang dijadikan sebagai timbale balik atas suara yang diberikannya.
  • Keempat, adalah pemilih tradisional pemilih tipe ini cenderung lebih berorientasi pada ikatan-ikatan primordialisme, seperti kesamaan suku, agama, dan ideologi partai
  •  Kelima, adalah tipe pemilih skeptis, pemilih tipe ini cenderung kurang memiliki kepercayaan terhadap partai politik atau kandidat akan mampu membawa aspirasi rakyat atau akan mampu memperjuangkan nasib rakyat. Karena itu, tipe pemilih ini cenderung bersifat apatis dan kemungkinan menjadi kelompok golput.
               Berdasarkan tipe perilaku memilih tersebut, jika masyarakat lebih cenderung termasuk tipe pemilih rasional dan kritis  maka akan terpilih pemimpin-pemimpin yang benar-benar mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat, namun jika masyarat lebih cenderung termasuk tipe pemilih transaksional, tradisional, dan skeptic maka akan terpilih pemimpin yang akan mementingkan diri sendiri dan golongan bahkan senderung korup. Maka dari itulah ini menjadi tugas bagi semua kompenen masyarakat untuk meningkatkan pendidikan politik di negeri ini agar tercipta negara demokrasi yang membawa kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar